Monday, November 06, 2006

"Kesialanku"

“Sialan, mereka ada di sana..” umpatku dalam hati saat melihat Joe cs di depan warung. Mereka berempat, sementara aku sendiri, jika ngotot untuk melawan sama dengan bunuh diri.

Aku mulai menyesali tindakan bodohku untuk memaksakan diri pergi menyelinap ke luar rumah malam Minggu ini. Entah apa yang terjadi tapi yang jelas teman-temanku tak ada malam ini, dan jalan satu-satunya untuk pulang adalah dengan melalui warung itu.

Aku mengintip sekali lagi, dan berharap orang-orang masih begadang di warung itu. Jika banyak orang, Joe cs tidak akan mengambil resiko untuk membuat ribut denganku, meski melihatku jalan sendiri merupakan "berkah" baginya. Masalahnya sekarang sudah menjelang subuh, mengharap orang masih begadang sebetulnya lebih merupakan khayalan, meski malam tadi malam Minggu, bahkan para peronda pun tampaknya sudah kembali ke rumah masing-masing. Ah ternyata warung memang sudah tutup.

Aku mengamati gerak-gerik Joe dan 3 kawannya. Aku berpikir, bagaimana meloloskan diri dari mereka. Joe dan dua temannya tampak mengantuk, sementara satu lainnya tampak masih siaga. Pilihanku ada dua, satu; menghadapi mereka dengan resiko dikeroyok dan “habis” atau dua; berlari secepat mungkin (mengendap membuatku lebih mudah terpergok) memasuki halaman warung untuk kemudian menyelinap ke luar lagi melalui halaman belakangnya dengan resiko jika pemilik menutup pintu pagar maka aku terpaksa kembali dengan pilihan satu.

Baik, aku memutuskan untuk mengambil pilihan ke dua. Saat aku lihat ada peluang dan mereka lengah, aku berlari cepat menuju halaman warung.

“Sial pintu ditutup!”,... dan tak ada tempat untuk bersembunyi.

Salah satu teman Joe melihatku. Kami saling menatap, wajahnya ragu-ragu. Kesempatan yang bagus, aku langsung menujunya dengan cepat dan menubrukkan tubuhku. Ia terhempas. Joe terkejut melihat temannya terhempas. Ia bangun dan langsung menyerangku. Aku mencoba menghindar, tapi ada temannya yang lain menahan tubuhku. Tak ayal aku menjadi sasaran empuk. Kami bergelut. Aku berusaha sebisa mungkin meloloskan diri. Aku tak ingin mati sekarang. Anehnya tak seorangpun terbangun oleh suara perkelahian kami, tak juga para peronda itu. Kemana mereka?

Entah seberapa lama kami berkelahi tapi yang jelas ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri dan aku lari sekencang mungkin menuju rumah. Joe cs tak akan berani mengejarku jika aku sudah sampai di belokan jalan. Ia beresiko berhadapan dengan teman-temanku di sana. Meski demikian, aku tetap heran, karena aku tidak melihat satu pun temanku sejak malam tadi. Juga subuh ini.

Aku merasa sendiri dan terkhianati. Sambil tertatih aku menuju rumah. Kurasakan perih di mulutku, dan beberapa luka di kakiku. Pegal terasa disekujur tubuh. Kepalaku pening, entah dihantam entah pula terantuk.

Sampai di depan rumah kudapati pintu gerbang digembok. Ah aku harus melalui jalan “rahasiaku”, sebuah cara masuk melalui halaman belakang dengan menerobos pagar tanaman. Sesungguhnya bukanlah cara yang nyaman apalagi dengan keadaan saat ini.

Aku merasa lelah dan super lunglai. Aku berjalan terhuyung-huyung menuju ruang keluarga, mendorong pintu yang untungnya tak terkunci. Aku menghempaskan diriku di atas sofa, merasa lega sesaat. Beberapa tetesan darah terlihat jatuh di lantai. Rasa sakit mulai menjalari tubuhku dan saat yang sama aku mulai kehilangan kesadaran. Pulas.

Beberapa tepukan di paha membangunkan aku. Mataku masih terasa berat, dan samar-samar ku lihat wanita itu membangunkanku. Dengan malas, aku hanya mengangkat kepalaku yang masih terasa pening. Cahaya pagi menyilaukan pandanganku. Tak perlu jadi peramal untuk tahu bahwa wanita ini akan segera mengomel. Tapi, ada orang lain di belakangnya.

“Sialan!!! Laki-laki itu ada di sini!”, umpatku dalam hati. Mengapa ia ada di sini dan kapan ia ke sini. Aku mulai lagi menyesali tindakan bodohku untuk pergi ke luar rumah malam tadi. Aku mencoba segera bangkit, tapi badan ini terasa berat.

Ditengah omelan yang tak habis-habisnya dari wanita itu, tiba-tiba si laki-laki mencengkeram tubuhku dan dengan mudahnya ia mengangkatku. Aku mencoba meronta tapi tak kuasa, badanku terlalu lemah.

Ia membawaku ke kamar mandi dan menceburkan aku ke dalam bath tub. Penyiksaan itu dimulai.

Sungguh berat bagi seekor anjing sepertiku harus dimandikan setiap hari Minggu pagi.

__________________


Sanur, November 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home