Sunday, January 07, 2007

Aku Bajingan (?)

Plak!

Perempuan itu menamparku. Aku terkejut tidak menyangka bahwa ia akan menyambutku seperti ini. Aku baru saja tiba di rumah, dan perempuan itu sudah ada di sana (ia memang punya kunci rumahku).

Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya bahwa ia memperlakukanku seperti itu, dan di rumahku.

“Kamu bajingan mas!”, ia memaki.

Aku melihat ada bening di matanya yang coba ia tahan. Ia berdiri dengan nafas tersengal, wajahnya penuh amarah, menatapku seolah akan membunuhku. Sementara telingaku berdenging. Tamparan itu tidak sempurna mendarat di pipiku, sebagian mengenai telingaku.

“Kamu bajingan mas!”, ia mengulanginya lagi.

Aku bingung kenapa ia memakiku, dan apa yang menjadi persoalannya.

Tiba-tiba ia menubrukku dan memelukku. Ia menangis terisak-isak di dadaku. Aku merengkuhnya, membelai rambut hitamnya yang panjang, mencoba menenangkan.

“Kamu bajingan mas, kamu bajingan…” sambil terisak ia masih memakiku.

Ia menengadah, memandangku lebih lekat, tersenyum, mengecup bibirku..

“Aku tidak suka kamu menemui wanita itu lagi”, dengan nada lembut ia memprotes.

Kedua tangannya mengusap pipiku. Mengecupku lagi.

“Aku sayang sama kamu mas..”, ia berbisik lirih, terdiam sejenak…

“ ..tapi aku tidak suka kamu menemui dia, …kamu milikku, kamu hanya untukku…”, masih berkata dengan lirih ia memprotes pertemuan ku dengan Saras.

Kali ini aku bereaksi, memegang pinggangnya, menjauhkannya sedikit, menatap langsung ke bola matanya dan ..

“..ini tidak benar, apa yang kita lakukan ini salah, kamu milik Rangga, kamu sadar bahwa hubungan kita adalah perselingkuhan buatmu?”.

“… Rangga memang suamiku, tapi dia tidak memilikiku sama sekali, aku adalah pemilik diriku sendiri…”.

“Tapi dia adalah lelaki yang kau pilih menjadi suamimu”.

Ia memandangku dan berkata datar, “Wisnu, aku manusia biasa, bisa salah pilih juga dan aku menyesalinya…”.

“Aku tidak mengerti ..”

Ia mendekatiku lagi, menciumku dan berbisik di telingaku.

“Kamu tidak perlu mengerti…yang penting kamu bisa bersamaku”

***

“Gue sayang lu, .tapi gue ga’ mau jadi pacar lu” , perempuan itu berbisik di telingaku.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Lu ga menantang buat gue..”

Aku terkejut dengan pernyataannya.

“Maksudnya?”

“Lu tipikal pria baik-baik, ..ga minum, ga judi, senengnya baca, ga macem-macemlah, obrolan lu dengan temen-temen lu juga selalu yang serius…..ah lu bahkan gampang ditebak….kalo gue begini pasti lu akan begitu, kalo gue minta lu datang, pasti lu datang..”.

“Lho gue sering becanda juga kok, lu kan juga sering gue ajak ketemu mereka dan becanda ma mereka”, aku memprotes.

Ia tertawa terbahak-bahak, wajahnya senang, dan memang aku menyukai spontanitas dirinya.

“Wisnu, Wisnu….lu tau ga sih?, lu tuh bahkan kalo lagi becanda ma temen lu tu serius ....ya betul kita ketawa bareng, tapi becandaan lu ma temen-temen tuh terlalu intelek, tau ga?”, ia masih tertawa senang.

“Jadi menurut lu, gue bukan tipe laki-laki bajingan gitu?”

“Ha ha ha ha mana ada laki-laki bajingan jujur…”, ia masih tertawa dan melanjutkan, “lu tuh anak baik-baik makanya gue ga mau pacaran ma lu…ha ha ha..”

“Nanti dulu…lu ga mau jadi pacar gue, tapi sekarang kita berdua pelukan di atas tempat tidur ini…”

“Ha..ha..ha..iya…karena gue menikmatinya,…ya gue menikmati pelukan ma lu di atas ranjang ini…ha ha ha..dan gue ga perlu ngerasa was-was diapa-apain ma lu..ha ..ha ..ha …biar gue aja yang ngapa-ngapain lu ha .. ha.. ha…”

“Gue ga ngerti…” aku berkomentar sambil menatap dengan pandangan menuntut jawaban darinya.

Ia mendekapku, mendekatkan bibirnya ke mataku, merasakan bulu mataku dengan bibirnya. Kemudian rebah ke sampingku, menatapku, …

“Gue seneng ma lu karena gue ngerasa nyaman deket ma lu…meski gue juga sebel kalo tau lu lagi ketemuan ma si Laras…”.

“Lu cemburu ma dia?” tanyaku.

“Ga tau ya, mungkin juga, tapi yang jelas gue sebel aja….dia kan bininya Rangga ya?”

“Yap..” jawabku.

“…eh gue bukan cemburu ya, cuma sebel aja, lu kan bukan pacar gue, gue ga punya hak tuk cemburu….tapi sebel punya..he he he…”

Ia memandangku, menatapku lembut, merengkuhku, mendekapku seolah tak ingin lepas. Ia mencium bibirku kemudian berbisik ..

“Gue seneng, lu selalu ada setiap gue butuh...”.


***


“Gimana kabar perempuan-perempuanmu?” tanyanya.

Aku memandangnya sambil tersenyum, sebuah pertanyaan yang tidak kuduga.

“Mereka baik-baik saja, terima kasih untuk menanyakan mereka dan bukan tanya kabarku..”

Ia tertawa renyah, matanya menyipit jika tertawa seperti itu.

“Kamu kelihatan baik-baik saja, untuk apa aku tanya kabarmu, lagipula aku selalu tahu kalau kamu kenapa-napa… ya ga?”

Aku tersenyum membenarkan pernyataannya. Perempuan itu menggiringku ke meja makan.

“Aku bikinin kamu spaghetti, terus aku beliin kamu batagor..”

“Paduan yang aneh..” komentarku

Ia memandangku dengan binar mata yang lucu.

“Tahu ga sih? Yang aneh itu kamu, sudah jelas ini seperti ini tapi tetap aja kamu habisi itu semua…ya kan?”

Ah, dia memang perempuan istimewa. Selalu tahu apa yang aku suka dan bisa menebak apa yang aku pikirkan. Mungkin benar kata Saras, sebetulnya aku lelaki yang mudah ditebak.

Seperti dugaannya, kedua jenis makanan itu memang benar aku lahap. Melihatku menghabisi semuanya dia tersenyum puas. Setelah membereskan piring-piring di meja makan, ia mengajakku menonton film di kamarnya.

“Kamu terbang malam ini?” tanyaku.

“Ga ah, aku nyakit aja”

“Lho kok gitu?”

“Aku lagi kangen ma kamu, pengen spend the whole day with you…kamu tokh lagi ga ada kerjaan kan?”

Aku menatapnya…,”kok tahu aku lagi ga ada kerjaan?”

“Aku kan sekretarismu, kamu aja yang suka ga aware “.

Aku tertawa mendengarnya, sesungguhnya dia benar, dia lebih tahu jadwal kerjaku karena aku mempercayakan buku agendaku padanya.

Sepanjang sore hingga malam itu aku menghabiskan waktu dengannya, dan ketika menjelang tengah malam aku hendak pamit pulang ia menahanku.

“Aku pengen kamu tetap tinggal di sini, stay with me for tonight please..”

Aku melihat pandangan memohon yang tulus dan penuh keyakinan bahwa aku tidak akan menolak ajakan itu, dan memang aku tak pernah menolak ajakan itu. Lalu aku pun mengangguk dan dia tersenyum.

Kami sudah berdua di tempat tidur dan masih mengobrol banyak hal. Ku perhatikan bahwa dia sudah mulai mengantuk, saat yang tepat untuk bertanya.

Dengan lirih aku bertanya,”Ann, kenapa kamu ingin aku tidur bersamamu?”.

Matanya menatapku dengan sayu tapi ia tetap menjawab.

“Aku ingin tidur bersamamu bukan ‘bercinta’ denganmu…”

“Ya, tapi kenapa?”.

“Aku merasa nyaman denganmu dan senang aja dipeluk kamu..”

“Ann, kamu tahu yang kumaksud, kamu tahu kamu bukan satu-satunya perempuan dalam kehidupanku, tapi kenapa kamu masih ingin denganku? Dan soal ‘bercinta’ itu, hanya masalah waktu, lama-lama akan muncul juga…”

Ia berpindah posisi, kini di atas tubuhku, tangannya merengkuhku, kemudian mencium bibirku untuk beberapa saat dan..

“..sesungguhnya aku ga peduli dengan perempuan-perempuanmu itu dan apa yang kamu perbuat dengan mereka, tokh mereka tetap bukan pacarmu…dan entah kenapa aku merasa nyaman denganmu, I also trust you that’s why you are beside me now..”.

“Kalau gitu kenapa kita ga pacaran aja sih?”

“Come on Wisnu, mana mau aku pacaran sama laki-laki yang selalu disibuki perempuan-perempuan lain, don’t be bastard ah…”

“Aku ga ngerti..”

“Kamu ga perlu repot-repot untuk mengerti, sudah jalani saja kenapa sih? Tokh kamu juga menikmati kan?”.ia bertanya retoris, kemudian menyambung “you know what, I agree with you about the making love…yes it’s just about time, and if the time is right now….hmmm I don’t care..”

***

Sore itu cerah sekali, aku sedang menikmati secangkir teh di café di pinggir pantai sendirian. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ku lihat nama Amanda di layar. Setelah ku terima, terdengar nada manja.

“Hai sayang, kita ketemuan dong, kangen nih…”
***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home