Thursday, March 13, 2008

KABUT di SENTANI

Kabut menyambutku di Sentani pagi ini. Dingin tidak menusuk tapi basah menyelimuti jalanan dan rumput-rumput di tepinya.

Aku terlarut pada kenikmatan ini, yang tiba-tiba menjadi suatu kemewahan. Kabut seperti ini sudah lama tak kurasakan.

Ingatanku melompat ke masa-masa saat berjalan kaki ke sekolah menembus kabut tebal dan dinginnya Bandung. Kaki kecilku mengantar ke sekolah di ketinggian.

Ah, pengalaman itu tak lagi dialami oleh anak-anak sekarang. Bandung sudah menjadi kota yang panas hingga kabut pun enggan untuk menyapa mereka.

Di luar sana, kabut menutupi danau Sentani yang luas, sementara pikiranku pun melayang seringan kabut itu. Sebentuk kerinduan yang tak kumengerti perlahan menyelimuti benakku sama seperti kabut itu terhadap Sentani.

Entah ini sebuah keinginan yang terkabul atau sekedar peringatan bahwa apa yang kuinginkan tak selamanya indah seperti yang dibayangkan. Sesungguhnya aku berada di sini, di tanah Papua, adalah seperti keinginanku. Namun waktu yang singkat ini tak bisa memenuhi hasratku untuk mengenal lebih jauh tanah ini. Namun juga, seandainya lebih lama bukan berarti aku akan puas karena setelah itu aku tak tahu harus berbuat apa.

Aku tak lagi bisa bercerita seru mengenai perjalanan-perjalananku. Aku tak lagi bisa menatap mata penuh kekaguman dan keingin-tahuan itu. Aku tak lagi bisa mendengar komentar-komentar dari mulut kecil itu.

Sesungguhnya aku tak tahu, apakah kabut ini meliputi benakku atau hatiku, atau juga keduanya. Aku juga tak tahu apakah kabut Sentani pagi ini suatu keindahan belaka atau cerminan perasaanku pagi ini.

“life goes on”, itu katamu dulu, dan sekarang memang aku harus pergi meninggalkan Sentani dan kabutnya.

Apapun itu, kenangan kabut Sentani pagi ini sungguh berkesan meski aku harus meninggalkannya.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home