Sunday, November 04, 2012

Terpojok


Aku memperhatikan terus gelagatnya.  Ia masih juga di situ, menari-nari, menandak-nandak, sambil berbicara tak jelas  (tapi mungkin aku yang  tak ingin mendengarnya).
Kurasakan keringat dingin mengalir dari leher turun ke punggung.  Aku tak suka dengan situasi ini, tapi ia masih juga tak beranjak pergi.
Tiba-tiba ia berhenti dan menatapku tajam. Ada sorot mata murka di matanya. Aku hanya bisa memaki dalam hati, “Anjing! Apa salah gue sampai harus ada di tempat ini?”.
Ia berdiri dan tangannya berkacak pinggang. Masih menatapku tajam dengan sorot mata murka.
Aku tak berani melawan tatapannya. Aku melihat badannya bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri.
Tak lama kemudian ia berteriak-teriak memakiku begitu saja. Sungguh aku tak mau mendengar apa yang dikatakannya. Ia terus berteriak-teriak. 
Sebetulnya ada beberapa orang lain di sekitar situ, tapi entah mengapa, mereka tidak perduli sama sekali untuk menolongku keluar dari situasi ini.
Aku ingin berbalik, tapi tak bisa. Orang itu masih saja memakiku, dan kini ia menuding-nuding kea rah wajahku.  Ia berjalan mendekat, dan aku semakin ketakutan.
Kini tangannya membentang, ototnya terlihat mengeras. Wajahnya tersenyum sinis dengan raut kemenangan.
Aku menatap matanya. Aku berpikir untuk melawannya saja.
Ia semakin mendekat, dan tangannya menggapai ke arah pundakku.  Aku memutuskan untuk berkelahi saja dengannya. Aku tidak bersalah, dan tidak layak berada di dalam situasi seperti ini. Sekali saja ia menyentuhku, akan kuhajar dia.
Ia semakin mendekat, sambil tertawa penuh kemenangan, ia menggamit pundakku ..
“haaaa!....kena!..sekarang kamu yang ngejar!..”
Aku terkejut, tubuhku terasa lemas dan tak jadi memukul. Sekali lagi hanya bisa memaki dalam hati.
“Dasar! Orang gila siallaaaaan!!”

Wednesday, September 02, 2009

Lelakiku yang Pergi

Aku memandang jauh ke cakrawala di Barat sana, tempat matahari terbenam. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam perahu nelayan.

Ini adalah tahun pertama dan juga kali pertama aku rindu padanya.

Tujuh tahun silam, saat musim kemarau akan berakhir, saat gerimis mulai mewarnai hari, laki-laki itu muncul entah darimana. Saat itu hari sudah malam meski belum larut. Ia memesan makan malam di warungku dan minum kopi hingga 3 gelas. Dari penampilannya, dia orang kota. Walau lusuh sekalipun, pakaiannya sungguh tampak berbeda dengan para nelayan miskin di desa kami. Ia tidak banyak bicara, hanya menjawab singkat atas pertanyaan basa- basi dari pengunjung lain.

Malam makin larut, dan ia tak juga beranjak pergi. Hanya tinggal aku dan dia. Tanpa menatapku, ia menanyakan apakah ia bisa tidur semalam di tempatku. Saat itu aku terhenyak, warungku adalah juga rumahku dan cuma ada serambi warung serta satu kamar tidur. Aku belum menjawab saat ia mengatakan bahwa ia akan membayar untuk itu. Aku menatapnya bingung. Ia menyebut angka yang jumlahnya sama dengan pendapatan seminggu dari warungku ini. Jumlah yang sangat membantu. Aku pun mengiyakan, dan berpikir untuk mengambil resiko tidur kedinginan di serambi warung demi uang itu.

Aku segera membereskan kasur di lantai yang juga cuma satu-satunya barang paling berharga di kamarku. Hanya perlu waktu yang sangat singkat, dan kemudian aku mempersilahkan laki-laki itu untuk tidur di kamarku. Ia segera masuk, dan aku menutup pintu dari luar.

Tak lama kemudian, ia membuka pintu dan menanyakan akan tidur dimanakah aku malam itu. Aku menunjuk kolong meja warungku. Ia menatapku dengan aneh, lalu memintaku untuk menemaninya tidur, dan mengatakan bahwa ia akan membayar untuk itu. Aku terdiam. Penduduk desa tahu bahwa aku sering tidur dengan beberapa laki-laki di desa itu, demi uang. Sama halnya dengan para wanita-wanita lain yang melakukannya juga saat suami mereka pergi melaut. Ini adalah rahasia umum desa kami. Tapi sungguh, aku tidak pernah tidur dengan lelaki asing mana pun. Ia melihat keraguanku. Menatapku dengan pandangan yang masih terasa aneh, lalu menyebut angka yang sangat besar. Aku tak menjawab, tapi kubiarkan diriku digandengnya ke dalam kamar.

Pagi hari, aku terbangun saat sinar matahari sudah menerobos celah-celah dinding kamarku. Aku sungguh tertidur lelap. Lelaki itu tidak ada, namun tas dan sepatunya masih tergeletak di sudut. Aku beranjak dan segera keluar untuk membuka warung. Di pinggir pantai, aku lihat lelaki itu sedang berjalan kembali ke warungku.

Badannya kuyup karena berenang. Ia memintaku untuk membuatkannya sarapan lalu langsung menuju sumur di belakang rumah untuk membilas tubuhnya.

Saat masuk kembali ke kamar, ia berlalu begitu saja, seolah aku tak ada. Tak lama kemudian, ia sudah muncul dan tampak siap untuk pergi lagi. Ia menyantap sarapannya tanpa berkata apa-apa. Selesai itu, ia membayar semuanya lalu pergi begitu saja.

Entah mengapa, aku tidak berusaha untuk bertanya apa pun tentang dirinya.

Setahun kemudian, ia muncul lagi. Masih sama dengan sebelumnya. Saat di penghujung kemarau, saat gerimis mulai datang, saat malam belum larut. Tak banyak bicara. Menginap satu malam dan memintaku menemaninya tidur. Demikian pula esok paginya. Selesai berenang, ia memintaku untuk membuatkan sarapan, pergi membasuh badan di sumur belakang rumah, berganti pakaian, sarapan, membayar lalu pergi entah kemana.

Lagi-lagi, aku tidak berusaha untuk bertanya apapun tentang dirinya.
Demikian pula pada tahun-tahun berikutnya, hingga tahun ke enam. Kira-kira setahun yang lalu.
Ketika itu, musim tak lagi sama. Hujan datang lebih cepat. Di pantai, ombak berdebur keras. Malam itu, aku tak membuka warungku karena hujan. Meski tak deras, tapi kupastikan tak akan ada pengunjung. Aku hampir terlelap saat kudengar pintu diketuk.
Aku membukanya, dan laki-laki itulah yang ada. Ia tersenyum. Senyuman pertamanya kepadaku sejak ia pertama kali datang. Aku menatapnya, sedikit takjub, dan hanya bisa berkata bahwa aku tidak bisa menyiapkan makan malam. Ia hanya tersenyum dan menganggukan kepala tanda mengerti.
Ia berganti pakaian dan sesudahnya, ia mengeluarkan bungkusan dari tas. Sate. Ia mengambil piring dari rak, yang kubeli dari uang hasil pemberiannya, lalu ditaruhnya sate itu dan mengajakku makan bersama.
Aku sangat menikmatinya, ini adalah sate pertama kali yang kumakan bukan di saat Idul Adha. Sebetulnya sate itu sudah agak dingin, namun bagiku rasanya tetap enak. Selesai makan, ia mengajakku tidur.

Pagi itu aku terbangun karena merasa ia akan beranjak. Aku menahannya untuk tidak keluar. Desir angin terdengar sangat keras. Bunyi gemuruh masih bersahut-sahutan walau tak terdengar rintik hujan. Ia berbisik, mengatakan bahwa di luar tidak hujan, seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku merengkuhnya, ia menyambut dan kami pun bergumul lagi. Aku terhempas pada kenikmatan yang luar biasa dan lunglai terlena.

Suara gelegar gemuruh mengejutkanku. Aku terbangun dan mendapati lelaki itu tak ada. Aku melihat sekeliling. Tas dan pakaiannya masih ada. Aku beranjak bangun dan berpikir untuk menyiapkan sarapan baginya.

Di luar, cahaya matahari tertutup awan tebal, debur ombak keras sekali dan gerimis berangsur deras. Rasa khawatir menjalar ke dalam hatiku. Aku melihat pantai, berharap laki-laki itu berdiri di sana, tapi tak ada. Aku berlari ke pantai, pandanganku menyapu laut yang bergolak. Tak ada satu pun perahu nelayan yang berlayar. Tak ada juga sosok laki-laki itu. Aku panik, aku tak bisa berteriak memanggil namanya karena aku tak pernah tahu siapa namanya.

Seseorang memanggilku dari jauh. Bukan dia, itu pak Ahmad. Aku semakin cemas, hatiku galau. Pak Ahmad berlari menghampiriku. Ia memintaku tuk segera pulang karena badai akan datang. Aku tak segera menurutinya. Aku bertanya apakah ia melihat laki-laki itu. Ia menjawab ada seseorang yang berenang ke tengah laut, tapi ia tak melihatnya kembali.

Aku tertegun. Pak Ahmad menggamitku untuk segera kembali ke rumah. Aku tersadar, lalu berlari menuju belakang rumah, berharap ia ada di sana. Tapi tak ada.

Hujan semakin deras, angin menderu-deru, gemuruh bersahutan. Aku terdiam di kamarku, memeluk tasnya. Ia tak pernah kembali.

Aku masih berdiri di pantai, memandang jauh ke cakrawala di Barat sana, tempat matahari terbenam. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam perahu nelayan.
Ini adalah tahun pertama dan juga kali pertama aku rindu padanya.

___________________
Jakarta, September '09

Thursday, September 04, 2008

Pergi atau Pulang?

Seperti yang sudah diramalkan.
Kini aku menuju ke kota kematianku.
Sesungguhnya aku gentar saat kakiku menjejak pertama kali.
Tapi di sanalah, mereka orang-orang yang mencintaiku berada.
Merekalah yang harus aku temui.

Namun, seperti yang sudah diramalkan.
Aku akan mati di kota ini.
Kota yang tidak kusukai, meski tak juga berarti ku benci.
Tapi di sanalah, mereka yang mencintaiku akan membunuhku.
Merekalah yang harus aku temui.

Monday, June 30, 2008

Pertarungan yang tak usai

Tetes keringat ini terasa mengalir di pipiku.
Aku menatapnya, tanpa amarah, tanpa nafsu membunuh.
Meski pedang terhunus di tanganku.

Tetes keringat itu terlihat mengalir di lehernya.
Matanya menatapku, tanpa amarah, tanpa nafsu membunuh.
Meski pedang terhunus di tangannya.

"Aku tidak ingin mati di tanganmu..."
"Mengapa?"
"Kau sahabatku...meski kini kita berseberangan.."
"Tapi kita panglima...dan kitalah yang akan menyelesaikan perang ini..."
"Baiklah....maka aku tak akan melawan..."
"Aku tidak akan membunuh orang yang membiarkan dirinya untuk mati begitu saja.."
"Aku tidak ingin menyesal membunuh sahabatku sendiri..."

Aku melangkah mundur, begitu juga dia...
Aku menatapnya, memberi dia salam perpisahan dan pergi meninggalkan arena begitu saja...

Aku memandang pasukanku dari atas bukit
Mereka adalah pasukan ke seribu
Aku melihat ke dalam hatiku...
Persahabatan ini mengorbankan banyak jiwa.

Thursday, March 13, 2008

KABUT di SENTANI

Kabut menyambutku di Sentani pagi ini. Dingin tidak menusuk tapi basah menyelimuti jalanan dan rumput-rumput di tepinya.

Aku terlarut pada kenikmatan ini, yang tiba-tiba menjadi suatu kemewahan. Kabut seperti ini sudah lama tak kurasakan.

Ingatanku melompat ke masa-masa saat berjalan kaki ke sekolah menembus kabut tebal dan dinginnya Bandung. Kaki kecilku mengantar ke sekolah di ketinggian.

Ah, pengalaman itu tak lagi dialami oleh anak-anak sekarang. Bandung sudah menjadi kota yang panas hingga kabut pun enggan untuk menyapa mereka.

Di luar sana, kabut menutupi danau Sentani yang luas, sementara pikiranku pun melayang seringan kabut itu. Sebentuk kerinduan yang tak kumengerti perlahan menyelimuti benakku sama seperti kabut itu terhadap Sentani.

Entah ini sebuah keinginan yang terkabul atau sekedar peringatan bahwa apa yang kuinginkan tak selamanya indah seperti yang dibayangkan. Sesungguhnya aku berada di sini, di tanah Papua, adalah seperti keinginanku. Namun waktu yang singkat ini tak bisa memenuhi hasratku untuk mengenal lebih jauh tanah ini. Namun juga, seandainya lebih lama bukan berarti aku akan puas karena setelah itu aku tak tahu harus berbuat apa.

Aku tak lagi bisa bercerita seru mengenai perjalanan-perjalananku. Aku tak lagi bisa menatap mata penuh kekaguman dan keingin-tahuan itu. Aku tak lagi bisa mendengar komentar-komentar dari mulut kecil itu.

Sesungguhnya aku tak tahu, apakah kabut ini meliputi benakku atau hatiku, atau juga keduanya. Aku juga tak tahu apakah kabut Sentani pagi ini suatu keindahan belaka atau cerminan perasaanku pagi ini.

“life goes on”, itu katamu dulu, dan sekarang memang aku harus pergi meninggalkan Sentani dan kabutnya.

Apapun itu, kenangan kabut Sentani pagi ini sungguh berkesan meski aku harus meninggalkannya.

Labels:

Thursday, May 24, 2007

"Lalu apa?"

Singapura, Selasa, 19.15 LT

“Aku n’dak ingin kamu berhubungan lagi dengannya..”
“Tapi mba’…”
“N’dak pakai tapi…pokoknya aku ga suka kamu berhubungan dengan dia. Titik!”.
“Alasannya?..”
“N’dak usah tanya alasan…apa sih susahnya nurut sama mba’, kamu tokh juga ga akrab sama dia kan…”
“Iya tapi kan dia temen lama kita mba’..”
“Udahlah! Pokoknya kamu ga usah berhubungan apalagi ketemuan sama dia…”.
“Salah dia apa sih mba’?”.
“E e e…kamu tuh, aku udah bilang titik…ya titik..ga usah tanya-tanya lagi..”.

Aku tahu bahwa mba Tien memang cerewet, tapi baru kali ini ia dengan sengaja dan penuh amarah melarangku untuk berhubungan dengan teman lama kami. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, bahkan aku menelepon mba’ Tien untuk memberi tahu bahwa aku berhasil menemukan teman kami itu melalui friendster dan besok aku akan menemuinya di teater Esplanade.

Aku tidak bisa meraba ada masalah apa sebetulnya antara laki-laki itu dengan mba Tien. Kami tidak pernah bertemu sejak delapan tahun lalu, dan tiba-tiba saja aku menemukannya di belantara friendster. Kebetulan ia akan datang ke Singapura malam ini dan besok aku berjanji akan menemuinya.

Aku mencoba mengingat-ingat masa lalu, mencari tahu sejauh mana hubungan kami dengan laki-laki itu. Rasanya tidak ada yang terlalu istimewa. Namun bila tidak ada yang istimewa:"lalu apa?".


Yogyakarta, Selasa, 18.20 WIB

“Siapa yang nelpon ndhuk?”
“Irwan ma..”
“Lho kok wis ditutup?...mama mau bicara sama dia jhe..”
“Ya, ntar malem mama telpon aja dia…”
“Janjane kowe ki ngopo tho?...kok kliatannya senewen gitu..”
“Ga papa, cuma pengen main ama anakku..”
“Yo wis.. kono!...sing ati-ati yo, anakmu bar minum susu …jo nganti mutah..”.

Sesungguhnya aku memang senewen, tapi tidak dengan Irwan adikku itu. Lebih karena berita yang dia sampaikan. Lelaki itu memang teman lama kami. Namun dia tidak lagi bisa leluasa begitu saja bertemu dengan adikku apalagi denganku.

Ia terlalu banyak memberi kenangan indah bagiku, kami pernah menjalin hubungan rahasia, atau lebih tepat jika itu disebut perselingkuhan, sesaat menjelang pernikahanku. Aku tidak ingin hubungan ini diketahui karena suamiku akan sangat marah. Aku tidak ingin ada keributan. Meski sesungguhnya aku ingin tahu juga kabar tentang dirinya.

Aku membayangkan lelaki itu sekarang. Masih kuruskah? Masih sibuk dengan dunia seninyakah?Apa yang dilakukannya di Singapur? Pamerankah? Apakah ia masih akan menatapku seperti dulu? Masih cintakah ia padaku? Atau dia sudah beristri? Banyak pertanyaan dalam benakku. Namun jika memang aku bisa bertemu dengannya:" lalu apa?".

Singapura, Rabu, 16.30 LT

“Tuuut..tuut…the number that you wish to contact can’t be reached at the moment, please try again..”
“Ada apa sih nih?”, aku memaki dalam hati.

Ini sudah ketiga kalinya aku menghubungi Irwan, dan dia tidak menerima panggilanku. Ada apa sebetulnya? Aku merasa sangat perlu untuk bertemu dengannya karena Irwan adalah satu-satunya orang yang bisa menyampaikan suratku untuk Tien. Aku sungguh berharap bahwa ia akan datang.

Aku akan menjelaskan banyak hal kepadanya tapi kini ia tidak datang. Aku mereka-reka apa penyebab ketidak- datangannya. Aku berharap dia tidak mengalami kecelakaan atau tiba-tiba sakit. Aku khawatir.

Aku mulai berimajinasi atas apa yang mungkin terjadi. Bukan pikiran yang positif tentu. Pertanyaan terburuk adalah: apa mungkin Tien melarang adiknya untuk bertemu denganku? Aku tahu pasti bahwa Irwan akan memberi tahu Tien mengenai pertemuan ini, dan memang ini yang aku harapkan. Tapi mengapa harus melarangnya. Adiknya, menurutku, mustinya tidak mengetahui mengenai hubunganku dengan Tien di masa lalu.

Sudah lewat 1 jam dari waktu yang kami sepakati. Otakku masih berpikir. Namun, jika memang Tien tidak melarangnya: "lalu apa?".


_________________________

"Lelaki di Bulan Purnama"

Ini sudah lebih dari seratus purnama ku lewati. Berarti juga sudah lebih dari seratus lelaki yang berdansa denganku dan dia belum muncul juga.

Tidak, aku bukan mengharapkan pangeran tampan berkuda putih yang menghampiriku. Aku hanya berharap seorang lelaki sederhana yang bisa mengikuti irama dan bisa berdansa secara harmonis dengan gerakanku.

Rasanya itu bukan impian muluk, tapi nyatanya lelaki itu tak datang juga. Banyak yang bisa berdansa denganku, bahkan lebih mahir dariku. Tapi mereka tetap saja tidak bisa mengikuti iramaku. Ada beberapa yang terlalu lambat, atau terlalu cepat. Beberapa yang terlalu bersemangat atau terlihat bosan. Beberapa yang terlalu kaku atau terlalu lincah. Tak ada yang sesuai dengan keinginanku.

Malam ini, aku tak tahu apakah lelaki itu akan datang, yang pasti aku sudah tiba lebih dulu di ujung dermaga lama yang selalu indah dengan pantulan laut saat purnama.

Bayangan seorang lelaki datang dari kejauhan, berjalan dengan mantap ke arahku. Sama dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya.

Ketika sudah mendekat, aku bisa melihat senyumnya yang menawan. Sama dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya.

Lelaki itu melingkarkan lengannya di pinggangku dengan luwes, dan kami pun mulai berdansa. Sama dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya.

Entah berapa lama kami berdansa, sang purnama sudah melintasi kepala dan kami pun mengakhiri dansa malam itu. Aku menatapnya dan merasa bahwa ia sama dengan lelaki-lelaki lain sebelumnya.

Matahari membuka hari yang cerah pagi ini. Aku melihatnya muncul dari jendela kamarku dan juga masih bertanya, “apakah dia akan datang saat bulan purnama berikutnya?”


__________________

Sunday, January 07, 2007

Aku Bajingan (?)

Plak!

Perempuan itu menamparku. Aku terkejut tidak menyangka bahwa ia akan menyambutku seperti ini. Aku baru saja tiba di rumah, dan perempuan itu sudah ada di sana (ia memang punya kunci rumahku).

Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya bahwa ia memperlakukanku seperti itu, dan di rumahku.

“Kamu bajingan mas!”, ia memaki.

Aku melihat ada bening di matanya yang coba ia tahan. Ia berdiri dengan nafas tersengal, wajahnya penuh amarah, menatapku seolah akan membunuhku. Sementara telingaku berdenging. Tamparan itu tidak sempurna mendarat di pipiku, sebagian mengenai telingaku.

“Kamu bajingan mas!”, ia mengulanginya lagi.

Aku bingung kenapa ia memakiku, dan apa yang menjadi persoalannya.

Tiba-tiba ia menubrukku dan memelukku. Ia menangis terisak-isak di dadaku. Aku merengkuhnya, membelai rambut hitamnya yang panjang, mencoba menenangkan.

“Kamu bajingan mas, kamu bajingan…” sambil terisak ia masih memakiku.

Ia menengadah, memandangku lebih lekat, tersenyum, mengecup bibirku..

“Aku tidak suka kamu menemui wanita itu lagi”, dengan nada lembut ia memprotes.

Kedua tangannya mengusap pipiku. Mengecupku lagi.

“Aku sayang sama kamu mas..”, ia berbisik lirih, terdiam sejenak…

“ ..tapi aku tidak suka kamu menemui dia, …kamu milikku, kamu hanya untukku…”, masih berkata dengan lirih ia memprotes pertemuan ku dengan Saras.

Kali ini aku bereaksi, memegang pinggangnya, menjauhkannya sedikit, menatap langsung ke bola matanya dan ..

“..ini tidak benar, apa yang kita lakukan ini salah, kamu milik Rangga, kamu sadar bahwa hubungan kita adalah perselingkuhan buatmu?”.

“… Rangga memang suamiku, tapi dia tidak memilikiku sama sekali, aku adalah pemilik diriku sendiri…”.

“Tapi dia adalah lelaki yang kau pilih menjadi suamimu”.

Ia memandangku dan berkata datar, “Wisnu, aku manusia biasa, bisa salah pilih juga dan aku menyesalinya…”.

“Aku tidak mengerti ..”

Ia mendekatiku lagi, menciumku dan berbisik di telingaku.

“Kamu tidak perlu mengerti…yang penting kamu bisa bersamaku”

***

“Gue sayang lu, .tapi gue ga’ mau jadi pacar lu” , perempuan itu berbisik di telingaku.

“Kenapa?”, tanyaku.

“Lu ga menantang buat gue..”

Aku terkejut dengan pernyataannya.

“Maksudnya?”

“Lu tipikal pria baik-baik, ..ga minum, ga judi, senengnya baca, ga macem-macemlah, obrolan lu dengan temen-temen lu juga selalu yang serius…..ah lu bahkan gampang ditebak….kalo gue begini pasti lu akan begitu, kalo gue minta lu datang, pasti lu datang..”.

“Lho gue sering becanda juga kok, lu kan juga sering gue ajak ketemu mereka dan becanda ma mereka”, aku memprotes.

Ia tertawa terbahak-bahak, wajahnya senang, dan memang aku menyukai spontanitas dirinya.

“Wisnu, Wisnu….lu tau ga sih?, lu tuh bahkan kalo lagi becanda ma temen lu tu serius ....ya betul kita ketawa bareng, tapi becandaan lu ma temen-temen tuh terlalu intelek, tau ga?”, ia masih tertawa senang.

“Jadi menurut lu, gue bukan tipe laki-laki bajingan gitu?”

“Ha ha ha ha mana ada laki-laki bajingan jujur…”, ia masih tertawa dan melanjutkan, “lu tuh anak baik-baik makanya gue ga mau pacaran ma lu…ha ha ha..”

“Nanti dulu…lu ga mau jadi pacar gue, tapi sekarang kita berdua pelukan di atas tempat tidur ini…”

“Ha..ha..ha..iya…karena gue menikmatinya,…ya gue menikmati pelukan ma lu di atas ranjang ini…ha ha ha..dan gue ga perlu ngerasa was-was diapa-apain ma lu..ha ..ha ..ha …biar gue aja yang ngapa-ngapain lu ha .. ha.. ha…”

“Gue ga ngerti…” aku berkomentar sambil menatap dengan pandangan menuntut jawaban darinya.

Ia mendekapku, mendekatkan bibirnya ke mataku, merasakan bulu mataku dengan bibirnya. Kemudian rebah ke sampingku, menatapku, …

“Gue seneng ma lu karena gue ngerasa nyaman deket ma lu…meski gue juga sebel kalo tau lu lagi ketemuan ma si Laras…”.

“Lu cemburu ma dia?” tanyaku.

“Ga tau ya, mungkin juga, tapi yang jelas gue sebel aja….dia kan bininya Rangga ya?”

“Yap..” jawabku.

“…eh gue bukan cemburu ya, cuma sebel aja, lu kan bukan pacar gue, gue ga punya hak tuk cemburu….tapi sebel punya..he he he…”

Ia memandangku, menatapku lembut, merengkuhku, mendekapku seolah tak ingin lepas. Ia mencium bibirku kemudian berbisik ..

“Gue seneng, lu selalu ada setiap gue butuh...”.


***


“Gimana kabar perempuan-perempuanmu?” tanyanya.

Aku memandangnya sambil tersenyum, sebuah pertanyaan yang tidak kuduga.

“Mereka baik-baik saja, terima kasih untuk menanyakan mereka dan bukan tanya kabarku..”

Ia tertawa renyah, matanya menyipit jika tertawa seperti itu.

“Kamu kelihatan baik-baik saja, untuk apa aku tanya kabarmu, lagipula aku selalu tahu kalau kamu kenapa-napa… ya ga?”

Aku tersenyum membenarkan pernyataannya. Perempuan itu menggiringku ke meja makan.

“Aku bikinin kamu spaghetti, terus aku beliin kamu batagor..”

“Paduan yang aneh..” komentarku

Ia memandangku dengan binar mata yang lucu.

“Tahu ga sih? Yang aneh itu kamu, sudah jelas ini seperti ini tapi tetap aja kamu habisi itu semua…ya kan?”

Ah, dia memang perempuan istimewa. Selalu tahu apa yang aku suka dan bisa menebak apa yang aku pikirkan. Mungkin benar kata Saras, sebetulnya aku lelaki yang mudah ditebak.

Seperti dugaannya, kedua jenis makanan itu memang benar aku lahap. Melihatku menghabisi semuanya dia tersenyum puas. Setelah membereskan piring-piring di meja makan, ia mengajakku menonton film di kamarnya.

“Kamu terbang malam ini?” tanyaku.

“Ga ah, aku nyakit aja”

“Lho kok gitu?”

“Aku lagi kangen ma kamu, pengen spend the whole day with you…kamu tokh lagi ga ada kerjaan kan?”

Aku menatapnya…,”kok tahu aku lagi ga ada kerjaan?”

“Aku kan sekretarismu, kamu aja yang suka ga aware “.

Aku tertawa mendengarnya, sesungguhnya dia benar, dia lebih tahu jadwal kerjaku karena aku mempercayakan buku agendaku padanya.

Sepanjang sore hingga malam itu aku menghabiskan waktu dengannya, dan ketika menjelang tengah malam aku hendak pamit pulang ia menahanku.

“Aku pengen kamu tetap tinggal di sini, stay with me for tonight please..”

Aku melihat pandangan memohon yang tulus dan penuh keyakinan bahwa aku tidak akan menolak ajakan itu, dan memang aku tak pernah menolak ajakan itu. Lalu aku pun mengangguk dan dia tersenyum.

Kami sudah berdua di tempat tidur dan masih mengobrol banyak hal. Ku perhatikan bahwa dia sudah mulai mengantuk, saat yang tepat untuk bertanya.

Dengan lirih aku bertanya,”Ann, kenapa kamu ingin aku tidur bersamamu?”.

Matanya menatapku dengan sayu tapi ia tetap menjawab.

“Aku ingin tidur bersamamu bukan ‘bercinta’ denganmu…”

“Ya, tapi kenapa?”.

“Aku merasa nyaman denganmu dan senang aja dipeluk kamu..”

“Ann, kamu tahu yang kumaksud, kamu tahu kamu bukan satu-satunya perempuan dalam kehidupanku, tapi kenapa kamu masih ingin denganku? Dan soal ‘bercinta’ itu, hanya masalah waktu, lama-lama akan muncul juga…”

Ia berpindah posisi, kini di atas tubuhku, tangannya merengkuhku, kemudian mencium bibirku untuk beberapa saat dan..

“..sesungguhnya aku ga peduli dengan perempuan-perempuanmu itu dan apa yang kamu perbuat dengan mereka, tokh mereka tetap bukan pacarmu…dan entah kenapa aku merasa nyaman denganmu, I also trust you that’s why you are beside me now..”.

“Kalau gitu kenapa kita ga pacaran aja sih?”

“Come on Wisnu, mana mau aku pacaran sama laki-laki yang selalu disibuki perempuan-perempuan lain, don’t be bastard ah…”

“Aku ga ngerti..”

“Kamu ga perlu repot-repot untuk mengerti, sudah jalani saja kenapa sih? Tokh kamu juga menikmati kan?”.ia bertanya retoris, kemudian menyambung “you know what, I agree with you about the making love…yes it’s just about time, and if the time is right now….hmmm I don’t care..”

***

Sore itu cerah sekali, aku sedang menikmati secangkir teh di café di pinggir pantai sendirian. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ku lihat nama Amanda di layar. Setelah ku terima, terdengar nada manja.

“Hai sayang, kita ketemuan dong, kangen nih…”
***