Monday, November 20, 2006

The Angel Hurts Us

Krisna menatapku.
“Lu kok dingin aja?” ia bertanya.
“Emang gue musti ngapain?” jawabku.
“Gue minta saran lu, atau lu komentar apa kek…”
“Ga ada yang musti gue komentarin…lu percaya dengan keyakinan lu, ngapain juga gue repot kasih komentar…emang lu bisa terima..”

Di ruang itu, kamar kos Ridwan, ada kami bertiga, Ridwan, Krisna dan aku. Kami berkumpul karena sejam yang lalu Ridwan “menyeret” Krisna dari kamarnya karena mau bunuh diri.

Ridwan memandang Krisna seperti melihat seorang pesakitan yang diadili di sidang mahkamah agung.

Krisna pucat, wajahnya menunjukkan keputus-asaan. Ridwan bertanya:

“Kris, tapi lu kan ga perlu pakai bunuh diri segala dong…”
“Lu, ga tau rasanya sih Wan,..ini masalah keyakinan bahwa dia cinta sejati gue…dan gue lebih baik mati daripada hidup dan terbayang-bayang wajahnya…”
“Tapi kan life must go on….you deserve to have a good life…” Ridwan mencoba menghibur.

Aku masih terdiam, hanya menatap Krisna. Matanya berair.

“Denger ya lu berdua,…lu bisa aja bilang ma gua kalo di dunia ini cewe ga cuma si Esti doang, tapi gue meyakini kalo dia belahan jiwa gue…dan gue punya bukti-bukti yang bisa bilang kalo dia emang belahan jiwa gue….”

Aku menukas

“Tapi faktanya dia menikah ama penyanyi rock itu, dan lu di sini nangis-nangis, garuk-garuk karpet…it’s useless kalo lu masih mikirin dia”

“Lu tuh pada ga ngerti..ini masalah cinta sejati, true love is exist maaan….dan gua yakin itu….kalo lu ga pernah ngalamin itu, lu ga tau rasanya jadi seperti gue…”

Aku saling tatap dengan Ridwan.

Tiba-tiba Ridwan bicara:

“Sejati atau ga sejati…yang jelas lu ga bisa seperti ini, hidup lu masih panjang dan tetep harus lu isi dengan yang lebih berguna…apa kek…”

Krisna terdiam tapi masih juga terlihat tidak bisa menerima pernyataan Ridwan begitu saja.
Lirih ia berkata:
“Kalian ga ngerti betapa gue cinta ma dia….”

“Kalo lu emang cinta, lu musti hidup, belati lu itu ga bisa nyelesein apa-apa!!!…” Ridwan berkata keras.

Aku beranjak dari dudukku, melangkah menuju rak koleksi CD dan kaset Ridwan. Aku mencari-cari koleksi lagu Sting. Menemukannya, ini dia; “When you love somebody set them free”. Aku pasang.

Ridwan menatapku, mendengar lagu itu dan tersenyum. Dia mengerti maksudku. Tapi si bebal Krisna itu lebih sibuk menahan air matanya.

“Heh…denger nih lagu baik-baik!!!” aku menyuruh Krisna.

Ia bergeming, mencoba menahan agar sesengguknya tak berlebihan.

Kami terdiam hingga lagu itu berakhir. Tiba- tiba Krisna memandangku, dengan mata nyalang, seolah ingin melabrakku, ia berteriak.

“She is my angel!!! You know!?!...”

Ridwan melihatku, melihatnya, dan:

“Kris, lu tahu ga lu ngomong apa?”

Ia menatap Ridwan dan mengulang:

“She is my angel…”

Aku melihat Ridwan, raut mukanya berubah seperti orang yang tidak percaya.

“Kris, are you sure?” Tanya Ridwan lagi.

Krisna terlihat kesal atas pertanyaan itu, tapi ia menjawab lagi.

“She is my angel !!!”

Ridwan menatapku. Aku balas menatapnya. Menghela nafas sejenak. Tak lama kemudian aku menghampiri Krisna. Mengangkat dagunya agar matanya bisa langsung menatap ke mataku. Ia terkejut tapi tak melawan, ia tahu aku akan mengatakan sesuatu.

“We don’t marry an angel!”


_________________

Sunday, November 19, 2006

Surat untuk Eurica

Ri, sesungguhnya aku merasa sangat beruntung bisa kenal dan bersahabat denganmu. Ini menjadi hal yang tidak ternilai bagiku, terlebih sejak pertemuan kita kembali setelah sekian tahun kita tak bertemu.

Ri, tak ada yang lebih membuatku sedih saat tahu bahwa suamimu meninggal sejak dua tahun lalu, dan sebetulnya merupakan kehormatan bagiku bahwa setidaknya aku masih bisa menghibur di saat-saat sedihmu.

Ri, aku juga sedih bahwa aku hanya bisa meluangkan waktu sedikit buatmu dan kedua anak-anakmu. Seandainya aku lebih punya banyak waktu, aku ingin mengajak si kakak untuk melihat-lihat dunia masa kecil kita yang sederhana, bermain layangan, bersepeda atau sekedar bermain di sawah. Ini adalah hal yang hilang bagi anak-anak semodern dia yang tumbuh ditengah arus kemajuan teknologi kota Jakarta.

Ri, sejujurnya aku tidak optimis bisa melihat dan bermain bersama si kecil saat ia tumbuh nanti. Aku merasa bahwa tidak punya cukup waktu lagi untuk dapat bermain bersamanya dan menunjukkan masa kecil kita yang sederhana sebagaimana aku menunjukkan kepada kakaknya.

Ri, aku akan sangat mengerti jika suatu saat nanti kamu akan kecewa karena kepergianku, tapi aku berharap bahwa kekecewaan itu tidak menjadi sebuah kesedihan yang berlarut. Meski aku juga tak tahu, adakah seseorang yang bisa menemani dan menghiburmu sebagaimana aku lakukan sekarang ini.

Ri, aku mohon, kamu bisa memaafkan aku ketika hari itu datang dan aku harus pergi. Aku juga mohon supaya kamu tegar menghadapinya, karena seperti aku selalu bilang; “semua ada waktunya”, dan waktuku sesungguhnya tidak lama lagi. Aku harus pulang, bagaimanapun juga, karena memang di sanalah seharusnya aku kembali setelah semua karyaku dikerjakan, entah selesai atau tidak.

Ri, aku sayang kamu dan anak-anakmu. Aku tahu kamu adalah seorang ibu yang tangguh dan mampu mendidik kedua anakmu dengan baik. Aku akan memohon agar Tuhan selalu melindungi keluargamu.

Ri, terima kasih untuk semua yang telah kamu berikan kepadaku, untuk semua waktu yang kita habiskan bersama dan semua kenangan indah yang kamu ciptakan.

Ri, aku akan sampaikan juga kepada Indra bahwa kamu baik-baik saja dan mampu mendidik anak-anak kalian.

Ri, aku pamit pulang, salam untuk kedua jagoanmu, sekarang aku harus kembali ke rumah Bapa di surga.

Salam kasih dan sayang dariku

Tuesday, November 14, 2006

Bumi Loro Sae 1998

Ia meratap
Menatap derita yang tak henti
Menggugat Tuhan atas apa yang menimpanya

Ia menangis
Mengais lara yang bertubi
Memaki hidup atas apa yang dialaminya

Ia menggigil
Memanggil sukma yang berlalu
Memohon nyawa atas buah hatinya


______

Tuesday, November 07, 2006

Jejak-jejak Kita

Sanur sore ini.

Sudah tiga tahun sejak kepergianmu, perpisahan kita, aku kembali membenamkan telapak kakiku di pasir Sanur.

Semua sudah berubah jeng, pasir yang dulu kita injak bersama sudah tidak ada lagi, habis dibawa ombak selat Penida. Berganti dengan yang baru. Bibir pantai tak lagi sedekat dulu. Kini menjauh menjorok seolah menantang ombak.

Anjing-anjing di sana juga bukan yang dulu lagi. Berganti seiring dengan hukum alam. Kamu ingat si Loreng, anjing jantan yang menjadi "jagoan" di sana? Ia sudah tak lagi berlari mengejar dan beradu dengan anjing lain atau pun sekedar berlompatan di riak-riak air yang datang. Orang-orang di hotel bilang, " si Loreng sudah tewas, mungkin keracunan ikan yang terdampar...". Entah anjing mana yang menggantinya.

Jalur 'paving block' yang dulu rusak disana-sini, kini sudah jauh lebih baik. Tempat kamu dulu hampir terpeleset karena gelap ketika kita pergi ke misa di Hyatt, kini sudah bagus dan terang-benderang meski malam hari.

Ah ya, bahkan misa di Hyatt pun kini sudah tidak ada lagi. Entah orang mana yang jadi GM di sana, yang jelas dia tidak mempunyai sedikit hati untuk membiarkan orang-orang berdoa di sana. Yah mungkin hanya seorang antek kapitalis berhati dingin yang ingin mencari muka di depan pemilik hotel.

Ya jeng, semua berubah. Juga tangan yang menggenggamku sore ini, bukan lagi lembut telapak tanganmu. Kaki yang mengiringi di sisiku sekarang juga bukan lagi kaki indahmu. Kini dia menjadi wanita ke dua yang memelukku di pantai, di depan orang banyak itu. Ya jeng, meski kamu tidak percaya waktu kukatakan itu (mungkin hingga sekarang), kamu tetap wanita pertama yang memelukku di pantai, di depan orang banyak itu.

Dari semuanya masih ada yang tidak berubah. Ombak-ombak yang terus menghantam dinding karang di ujung sana. Angin kencang yang bertiup menerbangkan burung-burung. Cakrawala senja yang indah.

Kuta pagi esok.

Sesungguhnya, aku tidak tahu apakah Kuta masih cukup menarik untuk diceritakan kepadamu. Semua, seperti yang aku katakan dulu, di sini selalu cepat berubah. Orang-orang bilang toko-toko makin bertambah, hotel-hotel kecil juga menjamur, cafe-cafe makin bertebaran dan bahkan media bercerita tentang penderitaan yang juga bertambah.

Aku berharap, ombak-ombak masih seperti dulu. Pasir putih tetap bertahan meski dihanyutkan arus Samudera Indonesia. Angin tetap bertiup menerbangkan burung-burung. Aah.. biarkan juga anjing-anjing itu berlarian bersama tuannya.

Jeng, aku ingin luangkan waktu untuk sekedar berlutut di depan Bunda Maria, namun kudengar, gereja di sini pun ikut merubah dirinya. Entah apakah akan menjadi lebih nyaman kelak. Menjadi lebih besar tentu iya, namun untuk tetap bersahaja mungkin tidak.

Tetapi jeng, pagi esok aku hanya berjalan sendiri.
_____________
Ubud, Februari 2006
Keterangan:
Jeng/ diajeng istilah bhs. Jawa merupakan panggilan sayang untuk wanita yang lebih muda.
In memoriam: "Joe" preman Sanur, si anjing loreng penguasa pantai Tanjung Sari.

Orang Ke Dua

Hari itu langit kelabu
Perempuan itu menatapku
Mengatakan sesuatu yang tak ingin kudengar
Aku memalingkan wajah
Berpindah pandang ke ombak yang berkejaran di sana

Hari itu langit kelabu
Lelaki itu menatapku
Mendengar sesuatu yang tak ingin kukatakan
Aku memalingkan wajah
Menyembunyikan bening mata yang menebal

Hari itu langit kelabu
Mereka masih di bibir pantai
Entah apa yang dikatakan
Aku masih memandang
Menunggu keberpihakannya.

Monday, November 06, 2006

"Kesialanku"

“Sialan, mereka ada di sana..” umpatku dalam hati saat melihat Joe cs di depan warung. Mereka berempat, sementara aku sendiri, jika ngotot untuk melawan sama dengan bunuh diri.

Aku mulai menyesali tindakan bodohku untuk memaksakan diri pergi menyelinap ke luar rumah malam Minggu ini. Entah apa yang terjadi tapi yang jelas teman-temanku tak ada malam ini, dan jalan satu-satunya untuk pulang adalah dengan melalui warung itu.

Aku mengintip sekali lagi, dan berharap orang-orang masih begadang di warung itu. Jika banyak orang, Joe cs tidak akan mengambil resiko untuk membuat ribut denganku, meski melihatku jalan sendiri merupakan "berkah" baginya. Masalahnya sekarang sudah menjelang subuh, mengharap orang masih begadang sebetulnya lebih merupakan khayalan, meski malam tadi malam Minggu, bahkan para peronda pun tampaknya sudah kembali ke rumah masing-masing. Ah ternyata warung memang sudah tutup.

Aku mengamati gerak-gerik Joe dan 3 kawannya. Aku berpikir, bagaimana meloloskan diri dari mereka. Joe dan dua temannya tampak mengantuk, sementara satu lainnya tampak masih siaga. Pilihanku ada dua, satu; menghadapi mereka dengan resiko dikeroyok dan “habis” atau dua; berlari secepat mungkin (mengendap membuatku lebih mudah terpergok) memasuki halaman warung untuk kemudian menyelinap ke luar lagi melalui halaman belakangnya dengan resiko jika pemilik menutup pintu pagar maka aku terpaksa kembali dengan pilihan satu.

Baik, aku memutuskan untuk mengambil pilihan ke dua. Saat aku lihat ada peluang dan mereka lengah, aku berlari cepat menuju halaman warung.

“Sial pintu ditutup!”,... dan tak ada tempat untuk bersembunyi.

Salah satu teman Joe melihatku. Kami saling menatap, wajahnya ragu-ragu. Kesempatan yang bagus, aku langsung menujunya dengan cepat dan menubrukkan tubuhku. Ia terhempas. Joe terkejut melihat temannya terhempas. Ia bangun dan langsung menyerangku. Aku mencoba menghindar, tapi ada temannya yang lain menahan tubuhku. Tak ayal aku menjadi sasaran empuk. Kami bergelut. Aku berusaha sebisa mungkin meloloskan diri. Aku tak ingin mati sekarang. Anehnya tak seorangpun terbangun oleh suara perkelahian kami, tak juga para peronda itu. Kemana mereka?

Entah seberapa lama kami berkelahi tapi yang jelas ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri dan aku lari sekencang mungkin menuju rumah. Joe cs tak akan berani mengejarku jika aku sudah sampai di belokan jalan. Ia beresiko berhadapan dengan teman-temanku di sana. Meski demikian, aku tetap heran, karena aku tidak melihat satu pun temanku sejak malam tadi. Juga subuh ini.

Aku merasa sendiri dan terkhianati. Sambil tertatih aku menuju rumah. Kurasakan perih di mulutku, dan beberapa luka di kakiku. Pegal terasa disekujur tubuh. Kepalaku pening, entah dihantam entah pula terantuk.

Sampai di depan rumah kudapati pintu gerbang digembok. Ah aku harus melalui jalan “rahasiaku”, sebuah cara masuk melalui halaman belakang dengan menerobos pagar tanaman. Sesungguhnya bukanlah cara yang nyaman apalagi dengan keadaan saat ini.

Aku merasa lelah dan super lunglai. Aku berjalan terhuyung-huyung menuju ruang keluarga, mendorong pintu yang untungnya tak terkunci. Aku menghempaskan diriku di atas sofa, merasa lega sesaat. Beberapa tetesan darah terlihat jatuh di lantai. Rasa sakit mulai menjalari tubuhku dan saat yang sama aku mulai kehilangan kesadaran. Pulas.

Beberapa tepukan di paha membangunkan aku. Mataku masih terasa berat, dan samar-samar ku lihat wanita itu membangunkanku. Dengan malas, aku hanya mengangkat kepalaku yang masih terasa pening. Cahaya pagi menyilaukan pandanganku. Tak perlu jadi peramal untuk tahu bahwa wanita ini akan segera mengomel. Tapi, ada orang lain di belakangnya.

“Sialan!!! Laki-laki itu ada di sini!”, umpatku dalam hati. Mengapa ia ada di sini dan kapan ia ke sini. Aku mulai lagi menyesali tindakan bodohku untuk pergi ke luar rumah malam tadi. Aku mencoba segera bangkit, tapi badan ini terasa berat.

Ditengah omelan yang tak habis-habisnya dari wanita itu, tiba-tiba si laki-laki mencengkeram tubuhku dan dengan mudahnya ia mengangkatku. Aku mencoba meronta tapi tak kuasa, badanku terlalu lemah.

Ia membawaku ke kamar mandi dan menceburkan aku ke dalam bath tub. Penyiksaan itu dimulai.

Sungguh berat bagi seekor anjing sepertiku harus dimandikan setiap hari Minggu pagi.

__________________


Sanur, November 2006

Wednesday, November 01, 2006

"Jejak Masa Lalu"

“Tok tok tok… tok tok tok”

Aku baru saja selesai doa malam ketika terdengar pintu ruang tamu pasturan diketuk. Aku melihat jam, menunjukkan jam 12 tengah malam. Aku bergegas membuka pintu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kamarku tapi tetap saja membutuhkan waktu.

“Ya, ya…siapa ya?”
“Saya romo, Bertus!” sahut orang di luar sana.

Aku membukakan pintu dan melihat wajah Albertus, koster gereja kami, pucat pasi.

“Ada apa Bertus?”
“Maaf romo, bisa kami pinjam mobil romo untuk antar mama desa ke rumah sakit di Ruteng.?”
“Ya, ya, tentu…kenapa dengan mama desa? “
“Sakit keras romo..”
“Tunggu, saya ambil kuncinya dulu..”

Aku bergegas ke kamar untuk mengambil kunci mobil.

“Ini ambillah, cepat segera jemput mama desa dan antar dia ke Ruteng..”
“Terima kasih romo”
“Ya, hati-hati ya, Tuhan sertamu…”
“Ya romo, terima kasih romo”

Albertus segera berlari menuju samping gereja, di sana ada garasi terbuka atau yang orang sering sebut car port, di situlah mobil kijangku parkir. Aku menutup pintu dan berharap bahwa mama desa dapat sehat kembali, namun tak lama kemudian kudengar ketukan lagi di pintu.

“Ya, siapa?”
“Saya romo, Bertus!”

Aku pun membuka pintu lagi dan kali ini melihat wajah Albertus dengan raut menyesal.

“Ada apa Bertus?”
“Ah, maaf romo, tapi beta tidak bisa supir itu mobil…”
“Lho kenapa? Mobilnya tidak mau hidupkah?” dengan sedikit bingung aku bertanya, karena sore tadi aku baru saja bepergian dengan mobil itu

“E..e.e.bukan begitu romo, tapi beta memang tidak bisa supir mobil..”

Sebetulnya aku ingin tertawa melihat kekonyolan malam ini, tapi mengingat bahwa ini bukan situasi yang tepat untuk tergelak, maka aku hanya bisa tersenyum.

“Kalau gitu, kamu tunggu sebentar, saya ganti baju lalu berangkat bersama..”
“Ya, ya terima kasih romo saya tunggu”.

Setelah berganti baju, kami pun segera berangkat ke rumah mama desa.

Di sana tampak sudah beberapa orang berkumpul, dan ketika kami datang aku pun disambut dengan heran.

“Maaf romo mengganggu, …terima kasih mau tolong kami,..”

Aku hanya menggangguk dan segera masuk untuk melihat kondisi mama desa. Ia tampak lunglai, di sebelahnya tampak anak wanita satu-satunya, Liberta, dan di sebelahnya ada seorang wanita muda berjilbab dengan baju putih khas dokter. Aku hanya menduga dia dokter puskesmas yang baru.

“Jika memang sudah siap, mari angkat mama desa ke mobil” aku mengajak mereka untuk segera membawa mama desa ke mobil.

Mereka pun segera bergegas membopong mama desa ke mobil.

Di dalam mobil saat itu ada 6 orang, aku, mama desa dan putrinya, Albertus dan istrinya, serta wanita berjilbab itu. Jarak tempuh dari desa kami ke Ruteng memakan waktu sekitar 3 jam. Selama perjalanan tidak terdengar seorang pun berbincang, meski sempat juga aku mendengar istri Albertus berbisik..

“Kenapa papa biarkan romo yang pegang setir?”
“Mama,…papa sudah tidak bisa lagi pegang setir, nanti kalau ada apa-apa tambah celaka kita..”

Sesungguhnya aku tidak tahu seberapa kencang aku mengendarai mobil ini, tapi yang pasti, jam 4 mama desa sudah masuk ruang perawatan intensif.

Aku menunggu di ruang tunggu rumah sakit, dan entah apa yang terjadi malam ini, aku sempat bertemu dengan salah satu pastor paroki gereja Mateus di Ruteng sini. Kami berbincang-bincang cukup lama, karena kebetulan beliau sempat sekolah filsafat bersamaku di Sanata Dharma Jogja.

Sekitar jam 6, istri Albertus dan wanita berjilbab itu menghampiriku.

“Bagaimana mama desa?” aku bertanya menyambut mereka.
“Puji Tuhan, mama desa sudah lebih baik..”, jawab istri Albertus yang kemudian melanjutkan..
“Oh iya romo, kenalkan ini dokter Fina, dokter keliling puskesmas Deru yang baru”.

Kami pun bersalaman, dan setelah berbasa-basi sejenak, dokter Fina menyatakan bahwa mama desa harus rawat inap, dan kami bisa kembali ke desa.

Selang 1 minggu kemudian, dokter Fina berkunjung ke tempatku. Ia datang untuk mengucapkan terima kasih dan sekaligus juga memperkenalkan dirinya lebih lanjut. Kami bercakap-cakap tentang segala hal dan langsung akrab. Ia dokter lulusan UNPAD Bandung yang ditempatkan di sini untuk memenuhi syarat mendapatkan pengakuan pemerintah dan ijin praktek.

Ia senang berada di tempatku, dan memuji sebagai sebuah pasturan kecil yang hijau dan asri.

“Terima kasih pujiannya untuk hijau dan asri, tapi apa dokter Fina pernah masuk ke pasturan yang lain?” tanyaku ingin tahu sejauh mana ia mengenal pasturan.

Ia tertawa dan “..ah saya kelihatan berbasa-basi ya…ha ha ha sebetulnya ini kali pertama saya masuk pasturan”.

“Wah pujian palsu… asal tahu ya, pasturan harus hijau dan asri”, balas ku sambil tertawa juga.

Derai tawa memenuhi ruang tamu pasturan sore itu.

Hari terus berjalan, dokter Fina semakin sering ke tempatku, atau lebih tepat ke perpustakaan pasturan. Sepertinya ia menikmati membaca buku-buku yang ada di sana, atau sekedar mengakses internet dari sini. Ya, perpustakaan kami cukup maju untuk daerah ini, berkat pastur Yohanes, pastur pendahuluku, ia dengan kemampuan dan pengetahuan tekniknya membangun jalur internet dengan gelombang radio. Bisa jadi, bagi dokter Fina perpustakaan ini merupakan satu-satunya tempat hiburan baginya.

Terkadang ia juga ikut membantu bila ada acara di gereja kami. Sebagai mantan anggota paduan suara di kampusnya dulu, ia dengan sukarela melatih kelompok paduan suara gereja kami. Hebatnya lagi, sejak dilatih olehnya kami berhasil menjadi juara 1 di festival paduan suara rohani sekabupaten. Mungkin saja juri terkesima melihat kelompok kami yang unik karena tampil dengan dirigen seorang wanita berjilbab.

Sejujurnya, bagiku terlihat janggal ketika paduan suara kami berlatih di gereja dan dirigennya seorang wanita berjilbab. Meski tidak seorangpun dari umatku yang keberatan, meski pun kami pernah meraih juara 1 dan ia pun bersikeras bahwa itu bukan masalah karena ia adalah satu-satunya muslimah di desa kami. Untuk menghindari hal-hal yang kurang berkenan, aku tetap melarangnya untuk tampil memimpin paduan suara saat misa.

Warga desa kami senang dengan kehadirannya, hingga bila ada pesta atau kenduri, ia disiapkan masakan khusus yang tidak mengandung babi atau bahkan mereka tidak menyajikan hidangan babi sama sekali. Secara bercanda, warga desa mengatakan bahwa sejak dokter Fina di sini, aku kelihatan lebih ramping karena tidak lagi makan babi yang berlemak. “Romo kelihatan gagah untuk lelaki setengah abad”, begitu komentar mereka kepadaku yang memang tidak lagi gendut sejak makanan mengandung babi “hilang” di pesta-pesta.

Suatu sore yang indah, seperti biasa, aku menikmati secangkir teh hangat di teras belakang kebun pasturan, dan seperti biasa pula, dokter Fina akan tiba-tiba muncul untuk bergabung dan mengobrol. Hanya kali ini pembicaraan kami agak luar biasa.

“Romo, aku mau pamit dulu untuk pulang ke Jakarta”.

Aku menatapnya, ada terbersit rasa akan kehilangan dirinya.

“Kamu pamit untuk selamanya atau hanya sekedar pulang dan kembali lagi?” tanyaku.

“Belum tahu romo”, jawabnya ragu.

Aku merasakan ada ganjalan dalam hatinya, entah apa, tapi itu menarik minatku untuk tahu lebih dalam.

“Kok terdengar ragu, emang ada apa?”

“Sebetulnya aku pulang untuk lebaran, tapi mungkin juga tidak kembali ke sini…” ia terdengar galau, lalu melanjutkan.

“..selain karena periode dinasku sudah habis, pacarku ingin segera menikahiku..”

Aku terkesiap, entah apa yang ada dalam perasaanku, ada rasa akan kehilangan tapi juga ada rasa bahagia seolah ia adalah putriku yang akan segera melepas masa lajangnya. Aku sempat berpikir mungkin begini rasanya menjadi seorang ayah saat putrinya akan menikah. Aku menanggapi.

“Romo senang bila kamu akan segera menikah, tentu kami semua disini juga akan bahagia mendengar berita itu, meski tentu kami akan kehilangan kamu…..kamu sudah menjadi keluarga dari warga desa sini….”

Ia menukas.

“Persoalannya, aku betah di sini, dan ingin kembali ke sini, calon suamiku jelas-jelas menolak karena karirnya ada di Jakarta…” suaranya terdengar semakin lirih…

“Hidup itu adalah pilihan, kita semua harus selalu memilih yang mana yang akan kita tempuh, dan tentu saja semua itu ada konsekuensinya. Apapun pilihanmu, yang penting itu membuatmu bahagia…” aku mencoba bijak.

Ia menatapku, ada sebening air mata tertahan di matanya. Kami terdiam untuk beberapa lama, cukup lama hingga matahari terbenam dan bintang Selatan muncul di cakrawala.

Tiba-tiba ia beranjak, menghampiriku, dan memelukku, lalu menangis.

“Kenapa aku ga punya ayah seperti romo…” suara lirih terdengar di telingaku.

Aku memeluknya erat, mengusap kepalanya, seperti halnya seorang ayah yang sedang menenangkan putrinya.

Dua bulan sudah berlalu sejak kepergian dokter Fina, ada yang berubah, terutama paduan suara gereja kami yang menurut perasaanku tidak lagi kompak. Kembali ke kualitas yang dulu. Herannya, hidangan babi tetap juga jarang muncul di pesta dan kendurian, mereka berkelakar bahwa itu pesan dokter Fina agar aku tidak menjadi gendut lagi. Sepertinya warga desa ini sudah jatuh hati padanya.

Sore ini aku baru saja menempatkan patung Bunda Maria yang baru ku pesan dari Bali untuk mengganti yang lama saat terdengar pintu utama gereja berderak dibuka orang. Aku menoleh, hanya siluet saja yang tampak karena sinar matahari sore menyeruak dari belakang sosok itu.

Sosok itu berjalan mendekati, semakin lama semakin jelas. Seorang wanita berambut panjang tergerai halus. Ia berjalan semakin cepat ke arahku dan ketika kulihat jelas.

Wajah itu!!! Mataku terbelalak dan entah mengapa jantungku berdebar kencang, sakit sekali, pandanganku kabur, dunia terasa berputar, untuk sesaat aku merasakan ia segera memelukku dan mencoba menahan agar aku tidak jatuh begitu saja.

Sayup-sayup aku mendengar…“ Romo…romo..romo..bangun, romo.. .romo..”.

Terasa ada tangan yang menekan-nekan di dadaku. Aku tersadar dan batuk-batuk. Aku menatapnya lekat-lekat…

“Oh kamu tho Fin…”

“Ya Tuhan, romo…punya sakit jantung?”

Aku mengiyakan dan mencoba bangkit berdiri, ia membantuku dan mendudukanku di salah satu bangku di situ.

“Iya, romo memang punya penyakit jantung, tapi sudah lama tidak pernah kumat…untung ada kamu di sini, kalau ndak, mungkin romo sudah pulang ke rumah Bapa..” aku mencoba bercanda, dan ia tersenyum.

Aku menarik nafas dalam, dan rasanya sudah menjadi lebih baik. Aku berdiri, dokter Fina tersenyum dan memeluk lalu mencium kedua pipiku.

“Kaget ya lihat aku ada di sini?”, tanyanya dengan mata berbinar.

“Ya tentu saja, kok ndak kirim kabar dulu?...mau bikin kejutan?...romo bener-bener terkejut lho sampai jantungnya kumat..”.

Ia tertawa renyah, senang sepertinya. Kemudian ia mengajakku untuk kembali ke perpustakaan. Aku menurut.

Dalam perjalanan ia bercerita tentang banyak hal, tetapi sesungguhnya aku tidak mendengarkan karena aku sibuk dengan pikiranku, mengenai apa yang kulihat tadi.

Wajah itu, wajah dokter Fina, mengingatkanku akan wajah wanita 30 tahun lalu yang dulu sangat kucinta. Bagaimana bisa tiba-tiba wajah itu muncul begitu saja setelah lama kulupakan.

Aku menghentikan langkahku tepat sebelum pintu masuk pasturan. Menatapnya. Ia terhenti dan bingung dengan tatapanku.

“Kok kamu ndak pakai jilbab?”

Ia tersenyum kemudian tertawa dan menjawab.

“Hidup itu adalah pilihan, kita semua harus selalu memilih yang mana yang akan kita tempuh, dan tentu saja semua itu ada konsekuensinya…” ia mengatakan itu dengan nada bercanda dan meledek.

Aku masih menatapnya, kali ini dengan pandangan tak percaya bahwa ia menggunakan kalimat itu untuk menjawabku. Kemudian ia melanjutkan…

“Sekarang kita masuk dulu, aku mau ngenalin romo ke ibuku, dia dah nungguin kita dari tadi di perpustakaan..”

“Lho, kamu itu ya…masuk rumah orang sembarangan, mentang-mentang tahu itu ga pernah dikunci terus nyelonong aja..” aku mengkritiknya dengan bercanda.

“Romo, ini pasturan bukan rumah, jadi siapa aja bisa masuk karena penghuninya harus melayani siapa saja yang datang..ha..ha..ha…” ia menjawab sekenanya sambil tertawa.

Di ruang perpustakaan terlihat seorang ibu, mengenakan kerudung, sedang duduk sambil membaca salah satu buku yang ada di sana. Ia berdiri menyambut begitu mengetahui kami datang.

“Romo, ini ibuku…ibu, ini Romo Alex” .

Kami saling pandang saat berjabat tangan.

“Nah, kalian ngobrol dulu biar aku bikin minum dulu ya…” dengan riang dokter Fina segera beranjak pergi ke dapur pasturan.

Aku dan ibunya masih saling menatap. Terdiam. Tatapan kami menembus ingatan masa silam. Wanita di depanku ini, adalah wanita yang kucintai 30 tahun lalu.

“Apa kabar Kris?” ia mencoba mencairkan kebekuan ini dengan memanggil nama tengahku. Hanya dia yang memanggilku dengan nama Krisna.

“Baik,….jadi ternyata Fina anakmu jeng….dia sangat mirip denganmu…sangat mirip….sangat sangat mirip….” Aku tergagap, entah kenapa tiba-tiba aku merasakan kepedihan di hatiku.

Tak lama kemudian dokter Fina datang dengan membawa minuman, dan tampaknya dia tidak merasakan adanya “kebekuan” antara aku dan ibunya, ia sibuk berceloteh, bercerita tentang pengalaman-pengalamannya bersamaku di sini dulu. Hingga larut malam, mereka pamit. Mereka menginap di rumah mama desa.

Tiga hari kemudian, di suatu sore, wanita itu datang ke pasturan. Aku mempersilahkan untuk duduk bersama di teras kebun belakang, di tempat aku biasa berbincang dengan dokter Fina, putrinya.

“Fina ndak ikut?”, aku bertanya untuk memulai percakapan sore itu.

“Ia akan menyusul nanti, aku sengaja datang lebih awal agar kita bercakap-cakap lebih enak Kris..”

Kemudian ia melanjutkan.

“Maafkan aku Kris,…saat itu aku tidak bisa menolak, papa sudah menyiapkan segalanya. Ia begitu membencimu….dan ia mengirimku ke Amerika agar kamu tidak bisa menemuiku lagi..”.

“Lalu kamu menikah dengan laki-laki itu?”, tanyaku. Mungkin aku cemburu saat menanyakan ini, meski aku sadari bahwa semuanya sudah lama terjadi.

“Ya..” ia menjawab singkat.

Aku menatap matanya. Mata itu adalah tetap mata indah yang dulu selalu kupuji. Pandangannya selalu melumpuhkanku.

“Jeng, seandainya aku tidak berjubah, aku sudah memelukmu….aku kangen”, entah apa yang merasukiku, tapi kata-kata itu meluncur jujur begitu saja.

Ia menatapku dan menjawab, “Kris, seandainya aku tidak berkerudung, aku sudah menciummu saat kita bertemu pertama kali bertemu di sini..”

Kami terdiam untuk beberapa saat. Rasanya sore itu tidak lagi indah, lebih merupakan sore yang rumit. Semua terasa mundur ke 30 tahun silam.

“ Kamu tahu bahwa aku datang pada hari itu?” aku bertanya tentang kejadian lalu.
“Aku tahu…..aku melihatmu Kris, aku melihatmu dari mobil….”.

Saat itu, aku datang untuk menemuinya, sesuai dengan janjiku. Hari itu hujan deras, dan satpam rumahnya tidak mengijinkanku masuk meski mereka mengenalku dengan baik. Aku masih ingat wajah pak Bambang, komandan satpam rumah itu, mencengkeramku kuat-kuat namun pada saat yang sama ia memohon dengan sangat agar aku tidak memaksa masuk. Kami berdua basah di luar. Sementara yu Jum, pembantu rumah itu melihat dengan sedih dari dalam rumah. Aku tetap memaksa, dan di tengah rinai hujan yang mengguyur, aku berkelahi dengan pak Bambang. Aku tetap memaksa, sementara pak Bambang tetap memohon meski ia juga tetap memukuliku.

Aku sedang terkapar di jalan saat mobil van itu melewatiku dengan angkuh dan mengguyurku dengan genangan air yang dilintasinya.

“Kamu tahu…Pak Bambang mengundurkan diri sejak kejadian itu…”, ia berkata seolah tahu apa yang ada dalam benakku.

Aku memegang tangannya dengan lembut, “Jeng, kamu tahu…aku tak pernah punya kekasih lagi sejak itu”.

Tak ada lagi perbincangan sore itu, kami hanya terdiam terpaku, hingga dokter Fina datang. Kami berbincang sejenak, tak lama kemudian mereka pamit.

Saat berpisah di pintu pasturan, dokter Fina sudah di dalam mobil, lirih aku berkata, “Jeng, dia sungguh mirip kamu…aku sayang padanya”

Tak dinyana, ia mendengarku, berbalik. Menatapku dan membalas dengan tersenyum.
“Dia juga keras hati seperti bapaknya…”

Agak sedikit malu karena ketahuan, aku mencoba bercanda…
“Yaaah... itu anakmu…”

Kini ia memandangku dalam, lalu berjalan kembali menghampiriku. Raut wajahnya tak bisa kutebak. Tiba-tiba ia memelukku, mencium kedua pipiku. Di tengah keherananku atas tindakannya itu ia berbisik…

“Dia anak kita, aku lahirkan dia di Boston…”

____________________
Sanur Oktober 2006
Keterangan:
Pasturan: sebuah rumah tempat pastur tinggal, biasanya tak jauh dari gereja.
Mama desa: istilah bagi perempuan yang menjabat sebagai kepala desa, biasa dipakai di NTT
Jeng/ diajeng: panggilan sayang dalam bahasa Jawa untuk perempuan yang lebih muda
Yu'/ mbak yu: panggilan umum dalam bahasa Jawa untuk perempuan yang lebih tua.