Wednesday, September 02, 2009

Lelakiku yang Pergi

Aku memandang jauh ke cakrawala di Barat sana, tempat matahari terbenam. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam perahu nelayan.

Ini adalah tahun pertama dan juga kali pertama aku rindu padanya.

Tujuh tahun silam, saat musim kemarau akan berakhir, saat gerimis mulai mewarnai hari, laki-laki itu muncul entah darimana. Saat itu hari sudah malam meski belum larut. Ia memesan makan malam di warungku dan minum kopi hingga 3 gelas. Dari penampilannya, dia orang kota. Walau lusuh sekalipun, pakaiannya sungguh tampak berbeda dengan para nelayan miskin di desa kami. Ia tidak banyak bicara, hanya menjawab singkat atas pertanyaan basa- basi dari pengunjung lain.

Malam makin larut, dan ia tak juga beranjak pergi. Hanya tinggal aku dan dia. Tanpa menatapku, ia menanyakan apakah ia bisa tidur semalam di tempatku. Saat itu aku terhenyak, warungku adalah juga rumahku dan cuma ada serambi warung serta satu kamar tidur. Aku belum menjawab saat ia mengatakan bahwa ia akan membayar untuk itu. Aku menatapnya bingung. Ia menyebut angka yang jumlahnya sama dengan pendapatan seminggu dari warungku ini. Jumlah yang sangat membantu. Aku pun mengiyakan, dan berpikir untuk mengambil resiko tidur kedinginan di serambi warung demi uang itu.

Aku segera membereskan kasur di lantai yang juga cuma satu-satunya barang paling berharga di kamarku. Hanya perlu waktu yang sangat singkat, dan kemudian aku mempersilahkan laki-laki itu untuk tidur di kamarku. Ia segera masuk, dan aku menutup pintu dari luar.

Tak lama kemudian, ia membuka pintu dan menanyakan akan tidur dimanakah aku malam itu. Aku menunjuk kolong meja warungku. Ia menatapku dengan aneh, lalu memintaku untuk menemaninya tidur, dan mengatakan bahwa ia akan membayar untuk itu. Aku terdiam. Penduduk desa tahu bahwa aku sering tidur dengan beberapa laki-laki di desa itu, demi uang. Sama halnya dengan para wanita-wanita lain yang melakukannya juga saat suami mereka pergi melaut. Ini adalah rahasia umum desa kami. Tapi sungguh, aku tidak pernah tidur dengan lelaki asing mana pun. Ia melihat keraguanku. Menatapku dengan pandangan yang masih terasa aneh, lalu menyebut angka yang sangat besar. Aku tak menjawab, tapi kubiarkan diriku digandengnya ke dalam kamar.

Pagi hari, aku terbangun saat sinar matahari sudah menerobos celah-celah dinding kamarku. Aku sungguh tertidur lelap. Lelaki itu tidak ada, namun tas dan sepatunya masih tergeletak di sudut. Aku beranjak dan segera keluar untuk membuka warung. Di pinggir pantai, aku lihat lelaki itu sedang berjalan kembali ke warungku.

Badannya kuyup karena berenang. Ia memintaku untuk membuatkannya sarapan lalu langsung menuju sumur di belakang rumah untuk membilas tubuhnya.

Saat masuk kembali ke kamar, ia berlalu begitu saja, seolah aku tak ada. Tak lama kemudian, ia sudah muncul dan tampak siap untuk pergi lagi. Ia menyantap sarapannya tanpa berkata apa-apa. Selesai itu, ia membayar semuanya lalu pergi begitu saja.

Entah mengapa, aku tidak berusaha untuk bertanya apa pun tentang dirinya.

Setahun kemudian, ia muncul lagi. Masih sama dengan sebelumnya. Saat di penghujung kemarau, saat gerimis mulai datang, saat malam belum larut. Tak banyak bicara. Menginap satu malam dan memintaku menemaninya tidur. Demikian pula esok paginya. Selesai berenang, ia memintaku untuk membuatkan sarapan, pergi membasuh badan di sumur belakang rumah, berganti pakaian, sarapan, membayar lalu pergi entah kemana.

Lagi-lagi, aku tidak berusaha untuk bertanya apapun tentang dirinya.
Demikian pula pada tahun-tahun berikutnya, hingga tahun ke enam. Kira-kira setahun yang lalu.
Ketika itu, musim tak lagi sama. Hujan datang lebih cepat. Di pantai, ombak berdebur keras. Malam itu, aku tak membuka warungku karena hujan. Meski tak deras, tapi kupastikan tak akan ada pengunjung. Aku hampir terlelap saat kudengar pintu diketuk.
Aku membukanya, dan laki-laki itulah yang ada. Ia tersenyum. Senyuman pertamanya kepadaku sejak ia pertama kali datang. Aku menatapnya, sedikit takjub, dan hanya bisa berkata bahwa aku tidak bisa menyiapkan makan malam. Ia hanya tersenyum dan menganggukan kepala tanda mengerti.
Ia berganti pakaian dan sesudahnya, ia mengeluarkan bungkusan dari tas. Sate. Ia mengambil piring dari rak, yang kubeli dari uang hasil pemberiannya, lalu ditaruhnya sate itu dan mengajakku makan bersama.
Aku sangat menikmatinya, ini adalah sate pertama kali yang kumakan bukan di saat Idul Adha. Sebetulnya sate itu sudah agak dingin, namun bagiku rasanya tetap enak. Selesai makan, ia mengajakku tidur.

Pagi itu aku terbangun karena merasa ia akan beranjak. Aku menahannya untuk tidak keluar. Desir angin terdengar sangat keras. Bunyi gemuruh masih bersahut-sahutan walau tak terdengar rintik hujan. Ia berbisik, mengatakan bahwa di luar tidak hujan, seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku merengkuhnya, ia menyambut dan kami pun bergumul lagi. Aku terhempas pada kenikmatan yang luar biasa dan lunglai terlena.

Suara gelegar gemuruh mengejutkanku. Aku terbangun dan mendapati lelaki itu tak ada. Aku melihat sekeliling. Tas dan pakaiannya masih ada. Aku beranjak bangun dan berpikir untuk menyiapkan sarapan baginya.

Di luar, cahaya matahari tertutup awan tebal, debur ombak keras sekali dan gerimis berangsur deras. Rasa khawatir menjalar ke dalam hatiku. Aku melihat pantai, berharap laki-laki itu berdiri di sana, tapi tak ada. Aku berlari ke pantai, pandanganku menyapu laut yang bergolak. Tak ada satu pun perahu nelayan yang berlayar. Tak ada juga sosok laki-laki itu. Aku panik, aku tak bisa berteriak memanggil namanya karena aku tak pernah tahu siapa namanya.

Seseorang memanggilku dari jauh. Bukan dia, itu pak Ahmad. Aku semakin cemas, hatiku galau. Pak Ahmad berlari menghampiriku. Ia memintaku tuk segera pulang karena badai akan datang. Aku tak segera menurutinya. Aku bertanya apakah ia melihat laki-laki itu. Ia menjawab ada seseorang yang berenang ke tengah laut, tapi ia tak melihatnya kembali.

Aku tertegun. Pak Ahmad menggamitku untuk segera kembali ke rumah. Aku tersadar, lalu berlari menuju belakang rumah, berharap ia ada di sana. Tapi tak ada.

Hujan semakin deras, angin menderu-deru, gemuruh bersahutan. Aku terdiam di kamarku, memeluk tasnya. Ia tak pernah kembali.

Aku masih berdiri di pantai, memandang jauh ke cakrawala di Barat sana, tempat matahari terbenam. Hanya tampak bayangan-bayangan hitam perahu nelayan.
Ini adalah tahun pertama dan juga kali pertama aku rindu padanya.

___________________
Jakarta, September '09