Terpojok
Aku memperhatikan terus gelagatnya. Ia masih juga di situ, menari-nari,
menandak-nandak, sambil berbicara tak jelas
(tapi mungkin aku yang tak ingin
mendengarnya).
Kurasakan keringat dingin mengalir dari
leher turun ke punggung. Aku tak suka
dengan situasi ini, tapi ia masih juga tak beranjak pergi.
Tiba-tiba ia berhenti dan menatapku tajam.
Ada sorot mata murka di matanya. Aku hanya bisa memaki dalam hati, “Anjing! Apa
salah gue sampai harus ada di tempat ini?”.
Ia berdiri dan tangannya berkacak pinggang.
Masih menatapku tajam dengan sorot mata murka.
Aku tak berani melawan tatapannya. Aku
melihat badannya bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri.
Tak lama kemudian ia berteriak-teriak
memakiku begitu saja. Sungguh aku tak mau mendengar apa yang dikatakannya. Ia
terus berteriak-teriak.
Sebetulnya ada beberapa orang lain di
sekitar situ, tapi entah mengapa, mereka tidak perduli sama sekali untuk
menolongku keluar dari situasi ini.
Aku ingin berbalik, tapi tak bisa. Orang
itu masih saja memakiku, dan kini ia menuding-nuding kea rah wajahku. Ia berjalan mendekat, dan aku semakin
ketakutan.
Kini tangannya membentang, ototnya terlihat
mengeras. Wajahnya tersenyum sinis dengan raut kemenangan.
Aku menatap matanya. Aku berpikir untuk
melawannya saja.
Ia semakin mendekat, dan tangannya
menggapai ke arah pundakku. Aku
memutuskan untuk berkelahi saja dengannya. Aku tidak bersalah, dan tidak layak
berada di dalam situasi seperti ini. Sekali saja ia menyentuhku, akan kuhajar
dia.
Ia semakin mendekat, sambil tertawa penuh
kemenangan, ia menggamit pundakku ..
“haaaa!....kena!..sekarang kamu yang
ngejar!..”
Aku terkejut, tubuhku terasa lemas dan tak
jadi memukul. Sekali lagi hanya bisa memaki dalam hati.
“Dasar!
Orang gila siallaaaaan!!”